Berjibaku Menegakkan Benang Basah Akuntabilitas Kinerja Sintang

Oleh : Riandy Syarif

Entah harus berkata apalagi ketika mengetahui bahwa Hasil Evaluasi Kinerja Pemkab Sintang Tahun 2022 oleh KemenPAN dan RB tidak banyak mengalami peningkatan, ini sudah ke enam kalinya sejak tahun 2017, nilai kinerja bertahan di predikat CC. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil audit atas Laporan Keuangan yang dikeluarkan BPK RI, dimana Pemkab Sintang secara berturut-turut sejak 2013 hingga sekarang telah meraih Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Opini WTP dapat diartikan kemampuan Pemkab Sintang dalam menyajikan Laporan Keuangan yang benar sesuai dengan Standar yg diterapkan, penyajian Laporan Keuangan yang benar ini seharusnya menjadi penunjang utama akuntabilitas kinerja. Namun pada kenyataannya tidak ada peningkatan yang siginifikan atas hasil evaluasi kinerja, untuk tingkat Provinsi Kalimantan Barat saja, Kabupaten Sintang berada pada urutan kedua terendah setelah Kabupaten Melawi, dimana kabupaten/kota lain telah mampu meraih predikat B.

Predikat Nilai CC dapat diinterpretasikan bahwa Akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi kinerja untuk pertanggung jawaban, perlu banyak perbaikan tidak mendasar, dengan nilai berkisar antara 50,00 sampai dengan 60,00. Interpretasi tersebut dapat diartikan bahwa secara mendasar akuntabilitas kinerja Pemkab Sintang sudah dipenuhi, namun ada hal-hal lain yang harus dilakukan perbaikan, salah satunya implementasi Kinerja.  Implementasi meliputi bagaimana pejabaran teknis konsep perencanaan yang ditetapkan, pengukuran, evaluasi dan penyajian yang andal serta memadai, sehingga menghasilkan laporan kinerja yang dapat bermanfaat untuk perbaikan dan peningkatan kinerja.

Untuk mewujudkan itu, perlu sinergitas antara OPD terkait seperti Bappeda, Bagian Organisasi dan Inspektorat untuk mengawal implementasi SAKIP sampai tingkat OPD, membantu untuk merancang konsep kinerja kabupaten serta menjabarkan konsep kinerja OPD. Hal penting lainnya adalah perlunya komitmen Pimpinan, baik Kepala Daerah maupun Pimpinan OPD untuk bersama-sama menjadikan Akuntabilitas Kinerja sebagai prioritas utama. Akuntabilitas kinerja yang dikemas dalam Sebuah Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) merupakan awal dari seluruh perencanaan program dan kegiatan sekaligus menjadi akhir dari seluruh pertanggungjawaban anggaran yang dibelanjakan, hal ini dapat diartikan bahwa tidak ada anggaran yang efektif mendukung tujuan utama Pemkab Sintang tanpa didasari oleh Implementasi SAKIP yang benar. Jika merujuk pada Azas pengelolaan keuangan, maupun  Azas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, hal penting yang ingin diwujudkan oleh Pemerintah adalah Efektivitas dan Efisiensi penggunaan anggaran, dimana selama SAKIP diabaikan, maka selama itu pula tidak diketahui seberapa efektif dan efisien belanja yang dilakukan.

Jika berkaca pada Provinsi DIY, implementasi SAKIP berdampak pada pengurangan ratusan program dan kegiatan yang dinggap tidak sesuai tujuan, sehingga anggaran akan lebih tepat sasaran, sesuai dengan Rencana Strategis maisng-masing OPD, yang pada akhirnya akan mendukung tercapainya Visi dan Misi Kepala Daerah.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

PERENCANAAN BERBASIS RISIKO

Oleh : Riandy Syarif

Setiap orang atau pun organisasi pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, dimana tujuan tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi aktivitas rutin yang dilakukan. Sebuah tujuan yang telah ditetapkan harus diperjuangkan agar segera terwujud sesuai dengan hasil yang diinginkan, dimana upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut tentu dirancang melalui perencanaan yang baik, dimana perencanaan yang baik harus didukung dengan analisa yang tajam, dan analisa yang tajam hanya akan diperoleh bila data yang dimiliki relevan dan akurat.
Hanya saja, dalam upaya mencapai tujuan akan hadir risiko-risiko yang dapat menghalangi, sehingga perlu dilakukan pengaturan risiko sehingga setiap risiko tidak akan menjadi faktor penyebab kegagalan pencapaian tujuan. Langkah untuk mengatasi risiko disebut sebagai manajemen risiko, yaitu upaya untuk mengidentifikasi risiko, lalu dilakukan pengukuran atas risiko-risiko yang berhasil diidentifikasi lalu dilakukan follow up atas risiko tersebut. Setiap risiko memiliki bobot yang berbeda, ada risiko yang memliki tingkat frekuensi terjadinya tinggi namun dampaknya terhadap pencapaian tujuan rendah, ada juga risiko yang jarang terjadi jika dilihat dari frekuensinya, namun memiliki dampak yang tinggi. Dari perbedaan bobot risiko tersebut juga akan membedakan pengelolaanya, apakah dihindari, atau apakah dihadapi saja. Risiko dihindari jika apabila risiko tersebut dapat berakibat pada kerugian yang lebih besar dibandingkan jika tidak dihindari. Selain dihindari, risiko juga dapat ditransfer ke jasa asuransi, yang tujuannya agar operasional risiko tidak membebani rutinitas organisasi, seperti risiko kesehatan, dari pada organisasi/perusahaan memperkerjakan tenaga medis berserta sarana dan prasarana medis, akan lebih efektif jika bekerjasama dengan pihak asuransi kesehatan.
Manajemen risiko porsi utamanya ada pada perencanaan, sebuah perencanaan akan lemah bila tidak mempertimbangkan pengelolaan risiko yang baik. Karena perencanaan adalah sebuah upaya memproyeksikan dan menghadirkan gambaran kondisi yang belum terjadi, tidak hanya target positif saja yang ada dalam perencanaan namun juga perlu menghadirkan kondisi negatif. Karena suatu target bisa buyar jika terhalangi oleh sesuatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dengan menghadirkan prediksi risiko yang akan dihadapi maka akan menghasilkan perencanaan berbasis risiko yang siap dengan langkah antisipatif atas risiko, hasilnya seluruh target dari perencanaan tersebut menjadi logis dan mendekati kenyataan.
Kita harus mampu membedakan antara risiko dan masalah, karakteristik risiko adalah sesuatu yang belum terjadi, masih bersifat prediksi, sehingga setiap kemungkinan terjadinya risiko itulah yng akan dilakukan pencegahan atau pegelolaan. Sedangkan masalah adalah sesuatu yg telah terjadi, dimana apenanganannya bukan lagi pencegahan, namun penyelesaian masalah. Dengan manajemen risiko yang memadai, organisasi akan semakin memiliki gambaran real akan suatu kondisi dimasa yang akan datang, tentu saja akan berpengaruh pada penerapan strategi kebijakan yang tepat sasaran.
Pengelolaan risiko tergantung kemampuan dalam melakukan identifikasi risiko, dimana setiap hal yang memiliki kemungkinan menghalangi tujuan harus diidentifikasi. Bila ada risiko yag luput dari identifikasi, maka risiko tersebut tidak tergambarkan dalam perencanaan, sehingga akan berakibat pada hasil perencanaan yang melenceng dari harapan. Selain identifikasi, kemampuan mengukur risiko-risiko juga penting, karena disinilah kita akan membuat peta risiko sebagai acuan dalam perencanaan. Pengelolaan risiko juga perlu mempertimbangkan efektifiktas dan efisiensi, jangan sampai energi kita terporsir pada sebuah risiko yang sebenarnya bisa dialihkan.
Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang mempertimbangkan risiko, memadukan optimisme dan ancaman atas tujuan, sehingga suatu perencanaan akan semakin mendekati kondisi sebenarnya, karena sebuah perencanaan yang melupakan kemungkinan risiko adalah perencanaan yang semu.

Meninggalkan komentar

AKUNTABILITAS DI TENGAH DARURAT COVID-19

Oleh : Riandy Syarif

Langkah pemerintah memangkas anggaran belanja dan kegiatan lain untuk di alokasikan pada kegiatan penanganan darurat COVID-19, harus dilakukan secara tepat, cepat dan akuntable. Pemangkasan anggaran belanja-belanja yang lain tentu akan mempengaruhi target yg telah ditetapkan, sehingga beberapa fungsi pemerintahan akan berjalan tidak dalam kondisi normal. Hal ini mau tidak mau harus dilakukan, Tujuannya agar mengurangi dampak dari wabah COVID-19 terhadap kehidupan bangsa.
Ibarat sebuah pesawat yg harus melakukan pendaratan darurat, konsentrasi seluruh awak kabin akan terfokus bagaimana agar pendaratan darurat berjalan aman. Tidak ada pelayanan makan dan minum, tidak ada penjualan souvenir, tidak ada yg boleh beranjak dari tempat duduk dan melepas seat belt. Bahkan sangat mungkin pilot akan mengurangi beberapa fungsi dari pesawat, seperti AC atau lampu kabin, akibatnya tentu akan terasa tidak nyaman bagi penumpang pesawat, namun hal ini harus dilakukan untuk mengurangi risiko yg lebih besar.
Dengan dilaksanakan refocussing anggaran ini, roda pemerintahan sejenak tidak berjalan ideal, namun ini wajib dilakukan demi mengurangi risiko yg lebih besar didepan, seperti risiko kematian dan keruntuhan ekonomi.
Permasalahannya, bagaimana agar pergeseran fokus anggaran ini tidak dicurangi dan tidak meleset dari tujuan, pemerintah melalui terbitnya 67 peraturan di instansi pusat, telah menyiapkan regulasi terkait penanganan COVID-19, salah satunya adalah inpres no 4 tahun 2020, yg mengamanahi BPKP dan LKPP melakukan pengawalan terhadap proses Refocussing anggaran dan pengadaan barang/jasa penanganan COVID-19. Bentuk pengawalan yg dilakukan adalah melaksanakan reviu dengan melibatkan inspektorat di kementerian/lembaga/ Daerah. Tim reviu yang dibentuk di daerah akan berkoordinasi dengan Gugus Tugas penanganan COVID-19, untuk mensinergikan langkah-langkah yang dilakukan. Dalam kondisi yang tidak normal ini, Tim Reviu harus mendorong pengadaan barang/jasa yang cepat namun tepat dan cermat, sehingga perlu penyesuaian sudut pandang dari kondisi ideal ke kondisi upnormal.
Dari seluruh kondisi adanya pergeseran anggaran yang besar dari kegiatan yang telah direncanakan ke penanganan darurat COVID-19, maka akan mempengaruhi capaian target kinerja yang telah ditetapkan dalam perencanaan lima tahun, yaitu RPJMD dan Renstra. Capaian kinerja pemerintah terancam tidak terpenuhi, yang akan berpengaruh terhadap nilai akuntabilitas kinerja. Dengan adanya perubahan kondisi, yang akan mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi, perlu dilakukan revisi terhadap RPJMD dan Renstra, dengan menyesuaikan target kinerja.
Darurat COVID-19 perlu diimbangi dengan perencanaan yang cermat, implementasi yang tepat dan pengawasan yang akurat. Sementara.. tenaga medis berjuang di garis depan, maka Auditor/APIP memastikan agar penganggaran keperluan penanganan COVID-19 berjalan sesuai ketentuan yg berlaku. Semoga wabah ini segera berakhir

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

PENCEGAHAN KORUPSI YANG BERSINERGI

Oleh : Riandy Syarif

Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara maju setidaknya memiliki 2 (Dua) aspek penentu ini, yaitu aspek pertahanan dan perekonomian. Pertahanan merupakan perwujudan kemampuan suatu negara untuk membela diri dari ancaman pihak lain atau pun ancaman dari dalam negeri sendiri, sekaya apapun dan sebesar apapun pendapatan suatu negara, tentu tidak sempurna jika tidak memiliki kemampuan mempertahankan aset, budaya, kekayaan alam, wilayah dan rakyatnya. Kekuatan perekonomian adalah perwujudan dari kemampuan suatu negara membiayai diri sendiri, tanpa terlalu banyak bergantung pada pihak lain, sehingga dengan perekonomian yang baik suatu negara dapat secara bebas mengatur hidupnya sendiri, memenuhi segala kebutuhan dalam negeri bahkan mengatur negara lain melalui kerja sama perdagangan. Kekuatan pertahanan dan perekonomian itu menjadi mustahil tercapai jika ada perilaku yang digolongkan penyakit kronis suatu negara, yang dapat meruntuhkan kekuatan pertahanan dan perekonomian yang sudah mapan dan dapat pula menghalangi tercapainya kemandirian pertahanan dan perekonomian, ibarat penyakit diabetes yang menggerogoti secara perlahan, senyap namun pasti kesehatan tubuh kita, penyakit itulah yang disebut Korupsi.

Sejarah telah mencatat bahwa indonesia telah banyak membentuk lembaga yang fokusnya untuk memberantas praktek kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara, dari era revolusi Presiden Soekarno tahun 1960 yaitu Panitia Retooling Aparatur Negara, Operasi Budhi (1963), Tim Pemberantasan Korupsi (1967), Komisi Empat (1970), Komite Anti Korupsi yang melibatkan aktifis mahasiswa pada tahun 1970, Operasi Penertiban-OPSTIB (1977), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Timtas Tipikor (2005). Keberadaan lembaga dan tim khusus pemberantasan korupsi itu mengalami pasang surut, menjadi bukti betapa Penyakit Korupsi itu begitu sulit diberantas. Paradigma penindakan, pemberantasan atau pemusnahan penyakit korupsi itu ternyata tidaklah efektif, karena yang dilakukan lembaga di atas adalah korupsi yang sudah terlanjur, sehingga cukup memberikan edukasi terhadap pihak-pihak yang belum atau sedang melakukan korupsi. Oleh karena itu saat ini pemberantasan korupsi di Indonesia di fokuskan pada pencegahan melalui sosialisasi-sosialisasi, even dan kegiatan pencegahan.

Berdasarkan UUD Tahun 1945, dibentuklah BPK RI yang bertujuan untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara dan Meningkatkan pemeriksaan yang berkualitas dalam mendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang merupakan lembaga terdepan yang mengawal harta negara bersama dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sangat efektif mencegah terjadinya korupsi. Keberadaan BPK RI yang secara rutin melakukan audit mampu mendeteksi secara dini permasalahan pengelolaan keuangan negara, sehingga mampu mencegah penyimpangan yang lebih besar. Luasnya kewenangan BPK RI menjadikan jumlah objek pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI mencakup seluruh anggaran yang bersumber dari APBN/APBD pada Kementerian/Lembaga/Pemerintahan/BUMN/BUMD yang ada. Namun dari segi jumlah personil, BPK RI masih sangat kekurangan Auditor dibanding jumlah objek pemeriksaan yang harus ditangani, ditambah lagi banyaknya jenis-jenis pemeriksaan, seperti Audit Keuangan, Audit Kinerja, Audit Dengan Tujuan Tertentu, Audit Investigasi, Evaluasi dan reviu yang harus dilakukan BPK RI. Minimnya jumlah auditor menjadikan pemeriksaan dilakukan secara Sampling dengan pertimbangan risiko yang ada pada objek tersebut, sehingga dalam satu tahun tidak semua objek pemeriksaan akan dilakukan pemeriksaan oleh BPK RI, akibatnya ada objek pemeriksaan yang hingga saat ini belum pernah diperiksa.Seperti kebijakan pemerintah meningkatkan anggaran pemerintahan desa menjadi 1 milyar, jika dilihat dari banyaknya jumlah desa yang ada serta minimnya kemampuan SDM perangkat desa dalam mengelola keuangan, menyebabkan terjadinya potensi penyimpangan yang besar. Untuk itu perlu adanya pengawasan yang intensif terhadap pengelolaan keuangan desa. Saat ini lembaga yang rutin mampu menjangkau pengawasan anggaran desa adalah Inspektorat Kabupaten/Kota, namun dengan kondisi yang berbeda-beda setiap daerahnya tergantung bagaimana kebijakan kepala daerah dalam mendukung pengawasan di daerah masing-masing. Misalnya terkait anggaran sarana dan prasarana, pendidikan dan pelatihan, perekrutan tenaga pemeriksa ataupun dukungan tindak lanjut hasil pengawasan. Selain itu adanya beberapa jenis fungsional yang melakukan pengawasan juga menjadi tantangan tersendiri, hal ini dikarenakan masing-masing fungsional memilik lembaga pembina yang berbeda, tidak jarang pada tataran teknis terjadi kesulitan dalam kerjasama yang dilakukan.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

PENGAWASAN DANA DESA

Oleh : Sarwo Edi, SH (Pengawas Pemerintahan Madya Inspektorat Kabupaten Sijunjung-Sumatera Barat)

 

Pembangunan Desa merupakan agenda pembangunan nasional yang tercantum dalam Nawacita dan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019. Poin ketiga Nawacita menjelaskan bahwa salah satu agenda pembangunan nasional adalah Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk melaksanakan agenda pembangunan nasional tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran dana desa, yaitu Dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tahun 2017 ini mengalokasikan program Dana Desa sebesar Rp 60 triliun. Dana tersebut akan dibagi kepada 74.910 desa yang ada di Indonesia, sedangkan Pemerintah Kabupaten Sijunjung pada tahun ini mengalokasikan dana desa sekitar Rp 126 M yang tersebar di 60 Kenagarian dan 1 Desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sijunjung. Dana desa yang diterima oleh masing masing Nagari dan Desa lebih kurang antara Rp. 700 Juta s/d Rp. 1,1 Milyar.
Besarnya alokasi anggaran dana desa tersebut tentunya memerlukan pengawasan yang lebih intensif dari pihak-pihak yang terkait, sehingga dapat memberi keyakinan yang lebih memadai bahwa dana desa yang bersumber dari APBN telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang undangan, untuk itu perlu dilakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa secara umum terutama pengunaan dana desa.
Prinsip dasar pengawasan pengelolaan keuangan desa adalah sebagai berikut :
1.Dana Desa digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan diurus oleh desa dengan prioritas tahun 2015 belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
2.Dana Desa merupakan salah satu sumber pendapatan desa dalam APBdes sehingga dana desa merupakan bagian dari pengelolaan keuangan desa.
3.Pengawasan dana desa dilakukan dalam konteks pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, yang wajib berakuntabilitas adalah desa sebagai sebuah entitas dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk keuangan desa.
4.Kebijakan pengawasan tahun 2016 dan 2017 telah mengamanatkan kepada Inspektorat Daerah untuk melakukan pengawasan Dana Desa.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

LEMBAGA ANTI KORUPSI YANG PERNAH ADA DI INDONESIA

Oleh : Riandy Syarif

Saat ini hampir seluruh lapisan masyarakat pernah mendengar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepak terjang KPK menangkap pelaku korupsi, hingga perdebatan Jaksa dari KPK pada sidang tipikor maupun praperadilan kerap menghiasi media massa di tanah air. Namun tidak banyak yang mengetahui perjalanan lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk selain KPK. Sejarah mencatat, pemberantasan korupsi melalui pembentukan lembaga yang khusus menangani perkara ini telah dimulai sejak tahun 1960. Namun, dikarenakan berbagai pertimbangan lembaga-lembaga itu berganti nama maupun struktur serta tupoksi nya. Berikut ini lembaga-lembaga anti korupsi yang pernah dibentuk di Indonesia :

  1. Panitia Retooling Aparatur Negara (1960)

Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk untuk melakukan penindakan penyimpangan yang dilakuakn apartur negara. Paniti ini beranggotakan A.H Nasution, Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Panitia ini tidak efektif dikarekana banyak perlawanan dari pejabat yang korup, sehingga menyerahan kembali pelaksanaan tugas ke Kabinet Djuanda.

  1. Operasi Budhi (1963)

Setelah Pembubaran PARAN, penyelewengan yang dilakukan semakin marak, maka melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963 dilaksanakan “Operasi Budhi”, operasi ini dipimpin oleh A.H Nasution yang pada saat itu juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Tujuan operasi ini adalah untuk menangkap pelaku penyimpangan yang dilakukan oleh Staf ABRI. Operasi ini dirasa kurang efektif, sehingga  dibubarkan dan diganti dengan Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dipimpin Presiden Soekarno dibantu Letjen Ahmad Yani.

  1. Tim Pemberantasan Korupsi (1967)

Pada tahun 1967, presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) melalui Kepres No. 228/1967 dimana  tim ini beranggotakan Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diduga melakukan penyelewengan.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

SAAT OTW MENJADI OTT, SALAH INSPEKTORAT ?

Oleh : Riandy Syarif

Bertubi-tubinya berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dijalankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan kesan mundurnya upaya menuju reformasi birokrasi oleh pemerintah. Mimpi untuk mewujudkan Good Governance and Clean Goverment seakan sirna, tatkala banyaknya pejabat daerah yang terjaring OTT, hal ini diperburuk lagi pejabat daerah yang ditangkap selama ini dipandang bersih dan berkomitmen untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Selama kurun waktu bulan Juni – September 2017, setidaknya sudah 11 (Sebelas) kali OTT dilakukan, baik di daerah maupun di Kementerian/Lembaga, diantaranya :

  1. Pada tanggal 5 Juni 2017, KPK melakukan OTT pada DPRD Jawa Timur, yaitu adanya dugaan suap dari Kepala Dinas Pertanian dan Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur kepada Ketua Komisi B Provinsi Jatim.
  2. Pada tanggal 9 Juni 2017, KPK melakukan OTT yang melibatkan Kasi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Pejabat Pembuat Komitmen Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VIII dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjunto (MPSM).
  3. Pada tanggal 16 Juni 2017, KPK melakukan OTT terhadap Ketua DPRD Kota Mojokerto beserta Wakil Ketua Kota Mojokerto dan Kepala Dinas PUPR.
  4. Pada tanggal 20 Juni 2017, KPK mengamankan Gubernur Bengkulu dan istrinya, Bersama tiga orang lainnya yang terjaring dalam OTT.

(https://news.detik.com/berita/3537062/2-minggu-4-ott-kpk-di-2-provinsi)

  1. Pada tanggal 2 Agustus, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Pamekasan, Inspektur Kabupaten Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan, Kabag Administrasi Inspektorat Kabupaten Pamekasan dan Kepala Desa Dasuk.
  2. Pada tanggal 21 Agustus 2017, KPK melakukan OTT terhadap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Direktur Utama PT. Aquamarine Divindo Inspection dan Pengacara.
  3. Pada tanggal 23 Agustus, KPK melakukan OTT terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kemnterian Perhubungan dan Komisaris PT. Adhi Guna Keruktama.
  4. Pada tanggal 29 Agustus 2017, KPK melakukan OTT terhadap walikota Tegal.

(http://nasional.kompas.com/read/2017/08/30/06210591/ott-siti-masitha-operasi-keempat-kpk-sepanjang-agustus-2017?page=all)

  1. Pada tanggal 14 September 2017, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Batubara, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Batubara dan 2 orang kontraktor. (http://nasional.kompas.com/read/2017/09/14/18194131/kpk-tetapkan-bupati-batubara-dan-empat-orang-lainnya-sebagai-tersangka)
  2. Pada tanggal 14 September, KPK melakukan OTT terhadap Unsur DPRD, BUMD dan Swasta.(http://nasional.kompas.com/read/2017/09/15/08293781/ott-di-banjarmasin-kpk-amankan-anggota-dprd)
  3. Pada tanggal 16 September 2017 KPK melakukan OTT terhadap Walikota Batu – Malang (https://www.jawapos.com/read/2017/09/16/157629/saat-ott-wali-kota-batu-kpk-amankan-uang-ratusan-juta)

Giatnya OTT yang dilakukan KPK seolah menjadi pembuktian pernyataan KPK yang selama ini sering meragukan berfungsinya Early Warning System pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintahan Daerah (K/L/D), yang semestinya mampu memberikan alarm peringatan dini adanya korupsi.

Sudah sejak era Mendagri Gamawan Fauzi isu pembubaran Inspektorat Daerah digulirkan, dikarenakan menurut kajian Kemendari R.I Inspektorat tidak berfungsi dengan maksimal, hal ini dikarenakan struktur Inspektorat yang masih di bawah Menteri/Kepala Daerah, sehingga pengawasan tidak maksimal. Tidak maksimalnya pengawasan disebabkan Inspektorat harus mengawasi/memeriksa Pimpinannya sendiri, sehingga banyak kasus-kasus indikasi korupsi yang harus ditutup dikarenakan menyangkut kepentingan pimpinan. Isu ini dilanjutkan dengan upaya penyusunan RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah yang menggambarkan adanya perubahan dalam sistem pengawasan dalam tubuh pemerintah, RUU ini dikabarkan akan merubah struktur Inspektorat K/L/D menjadi terpusat dibawah Inspektorat Jenderal Nasional (Itjennas), namun hingga saat ini (17 September 2017), Keberadaan RUU SPIP itu tidak jelas.

Semangat untuk memperkuat Inspektorat juga muncul dari KPK, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan KPK, sudah seharusnya Inspektorat setingkat di atas K/L/D yang diawasinya. Bahkan dalam kajian tersebut KPK juga sempat menyinggung minimnya anggaran yang diberikan untuk kegiatan pengawasan serta minimnya jumlah APIP. Banyaknya Pejabat Daerah yang terjaring OTT mengembalikan ke permukaan isu “Penguatan Inspektorat”, Statement dari Mendari Cahyo Kumolo akan adanya langkah Perubahan terhadap Struktur Inspektorat semakin menambah hangatnya isu pemberantasan korupsi di negeri ini. Dalam hal perubahan struktur Inspektorat setidaknya ada beberapa wacana yang pernah terlontar, yaitu :

  1. Inspektorat K/L/D di bawah Inspektorat Jenderal Nasional (Itjennas), dimana Itjennas bertanggungjawab kepada Presiden, status kepegawaian menjadi pegawai pusat.
  2. Inspektorat dinaikan satu level, sehingga Inspektorat Kabupaten/Kota dibawah Gubernur, Inspektorat Provinsi di bawah Menteri, Inspkektorat K/L di bawah Presiden, status kepegawaian dinaikan setingkat.
  3. Inspektorat Provinsi/Kab/Kota di bawah Mendagri, Status Kepegawaian tetap di Daerah.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA TAHUN ANGGARAN 2015 DI KECAMATAN SINTANG KABUPATEN SINTANG

Agus Frayudha, S.Hut, ME

Auditor Inspektorat Kabupaten Sintang

 

Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan agar pemerintahan akan semakin dekat dengan rakyat. Pemerintahan yang dekat dengan rakyat berdampak pada pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara  Pemerintah  Pusat  dan  Pemerintahan  Daerah  menuntut  pemerintah  daerah untuk melaksanakan desentralisasi dan memacu pertumbuhan ekonomi guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di mana tujuan penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah.

Semangat otonomi daerah tidak hanya di Kabupaten dan kota melainkan hingga ke desa. Otonomi daerah merupakan solusi yang sangat tepat dalam pembangunan pedesaan, karena desa yang paling memahami bagaimana potensi desa yang dimiliki. Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemberlakuan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut memperkuat posisi masyarakat desa sebagai subjek pembangunan sehingga dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat desa melalui pembangunan pedesaan.

Pembangunan wilayah pedesaan akan terlaksana dengan baik apabila perangkat desa dan masyarakat diberikan kepercayaan dalam pengelolaan keuangan untuk melaksanakan program dan kegiatan pembangunan desa.

Menjawab kebutuhan tersebut, pemerintah memberikan pendanaan berupa Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBN maupun APBD. Agar tidak terjadi penyimpangan dan tujuan pemberian keuangan desa terlaksana, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa sebagai pedoman kepada pengelola keuangan desa dalam mengelola keuangan desa dari tahap perencanaan hingga pertanggungjawaban dengan melaksanakan prinsip akuntabilitas.

Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian timur Provinsi Kalimantan Barat. Pelaksanaan pengelolaan keuangan desa yang dilaksanakan oleh perangkat desa di Kabupaten Sintang diharapkan dapat mempercepat pembangunan desa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk mengetahui apakah tujuan tersebut telah terlaksana dengan baik dan sebagai bentuk pertanggungjawaban maka diperlukan prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan.

Akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggung jawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Prinsip akuntabilitas menuntut kemampuan menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana seseorang atau unit organisasi menggunakan wewenangnya, kemana sumber daya telah digunakan dan apa yang telah tercapai dengan menggunakan sumber daya tersebut, serta konsekuensi dalam pelaksanaan wewenang tersebut.

Salah satu wujud pelaksanaan akuntabilitas pemerintah desa terhadap masyarakat adalah melalui APBDesa. APBDesa merupakan sarana evaluasi terhadap kinerja pemerintah desa dan sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelola keuangan desa terhadap penggunaan wewenang yang diamanatkan dalam mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama dalam proses percepatan pembangunan desa. Adapun APBDesa tahun anggaran 2015 pada desa-desa di kecamatan Sintang dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

Menghargai Kinerja

Oleh : Riandy Syarif

Kinerja itu ibarat sebuah pohon, dimana buah yang dihasilkan akan menentukan penilaian orang terhadap pohon tersebut. Walaupun sebuah pohon telah memiliki umur yang tua, batang-batang yang besar dan kokoh, apabila tidak dapat memberikan manfaat untuk orang lain maka akan sia-sia. Perpaduan antara dedaunan yang mengalami proses fotosintesis, akar yang menyerap air dan senyawa dari tanah dan mengokohkan fondasi pohon, serta batang dan ranting yang mengantarkan mineral menuju dedaunan akan menghasilkan buah-buahan yang ranum dan siap dipetik. Begitulah kinerja, yang merupakan hasil nyata dari sebuah pekerjaan yang panjang dan melelahkan, memiliki ciri khas yang berbeda pada setiap orang dan tak mungkin sama. Namun, ketika sebuah kinerja tidak dihargai, ibarat buah yang jatuh busuk ke tanah tanpa pernah disentuh.

Dalam Pemerintahan Daerah pergantian pejabat merupakan hal yang lumrah terjadi, adanya mutasi dan promosi bertujuan untuk menyusun formasi dalam jabatan guna mendukung penyelenggaraan pemerintah daerah agar lebih efektif guna mendukung kinerja. Mutasi dan promosi merupakan hak preogratif Kepala Daerah dengan mempertimbangkan kondisi Struktur Organisasi dan Tatakelola, Tugas Pokok dan Fungsi SKPD, Pangkat, Masa Kerja maupun latar belakang pendidikan bagi pejabat yang akan di promosi/mutasi. Hal lain yang harus menjadi perhatian khusus oleh Kepala Daerah adalah menyangkut kinerja pejabat yang bersangkutan, dimana kinerja adalah jejak rekam (Track Record) yang menjadi bukti keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar

PERMASALAHAN SEPUTAR PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DI KABUPATEN SINTANG

Oleh : Riandy Syarif

Wacana peningkatan Anggaran Dana Desa (ADD) hingga Rp. 1 M/Desa sepertinya akan segera terealisasi, hal ini terlihat dari semakin bertambahnya nilai ADD yang diterima setiap desa, khususnya di Kab. Sintang. Namun pertambahan nilai ADD tidak mengikuti bertambahnya kemampuan Kepala Desa (Kades) dan perangkat desa dalam mengelola keuangan desa. Sesuai dengan aturan Permendagri No. 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, bahwa Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Artinya untuk dapat memenuhi azas pengelolaan keuangan desa maka diperlukan SDM yang mengerti dan siap untuk mengimplementasikan seluruh aturan yang ditetapkan. Dari hasil observasi pada beberapa desa khususnya di Kab. Sintang, terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak tercapainya azas-azas pengelolaan keuangan desa, yaitu :

  1. Minimnya SDM yang kompeten

Masih banyaknya Kades dan Perangkat Desa yang belum memahami bagaimana menyusun RPJMD, Renstra, Renja, APBDesa yang fungsi utamanya sebagai dokumen perencanaan yang akan menjadi acuan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Lemahnya dari sisi perencanaan ini berakibat pada tidak maksimalnya kinerja pemerintahan desa, karena kegiatan yang dilaksanakan tidak bersumber dari analisa perencanaan kebutuhan desa yang tepat, sehingga tidak memberikan dampak yang besar bagi masyarakat desa.

  1. Terbatasnya Sarana dan Prasarana pendukung.

Banyak desa di Kab. Sintang yang masih minim sarana pendukung seperti tidak ada Listrik, Jalan yang rusak parah, Jembatan yang putus dan Signal Handphone yang belum tersedia, bahkan ada desa yang tidak memiliki akses jalan darat sehingga hanya dapat ditempuh melalui sungai. Dengan kondisi desa yang tidak dialiri listrik Negara serta akses transportasi yang buruk memberikan dampak sulitnya komputerisasi pengelolaan keuangan dilaksanakan.

  1. Lemahnya Pembinaan Pemerintah

Setiap tahunnya SKPD terkait sering melakukan pembinaan terhadap Kades dan Perangkat Desa, baik melalui sosialisasi, Bomtek maupun diklat. Namun faktanya, masih banyak Kades atau Perangkat Desa yang tidak memahami substansi dari pembinaan yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi mengenai metode penyampaian materi yang dilakukan, atau menyeleksi peserta yang akan diberikan pembinaan.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Auditor | Meninggalkan komentar